Model-model pembelajaran
1.
Peta Pikiran
Buzan (1993)
mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati,
membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional
antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan
tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam
pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain
secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh
lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis.
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis.
2. Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.
3.Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.
3.Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
4. Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti itu. Caranya antar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti itu. Caranya antar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
5. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
belajar bertanya,menjawab-diskusi,presentasi,menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan, mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan. Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
belajar bertanya,menjawab-diskusi,presentasi,menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan, mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan. Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya
6. Konstruksivisme
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).
7. Prinsip Belajar
Aktif
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan.
Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosional
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan.
Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosional
Model Pembelajaran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS
merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention, Relevance,
Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9)
sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat
mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini
dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan (expectancy value theory) yang
mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan
harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen
tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen
model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction
dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model pembelajaran ini menarik
karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para
instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model pembelajaran ini
tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak
dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak
hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses
kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana
kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968:
610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut Saunders et
al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini
dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran
tersebut.
Dengan modifikasi tersebut,
model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen yaitu: attention
(minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin);
satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga
dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention
menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance,
karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80).
Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan
berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa
bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata
attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung
pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar
menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara
minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk
memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun
dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan
satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan
pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan
pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan
memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan
rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan
mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS
sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi
ini disebut model pembelajaran ARIAS.
Komponen Model Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan
model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima
komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang
disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu
kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat
masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk
membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Komponen pertama model
pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan
sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan untuk
berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan
Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung
akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang
merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka
bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi
kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan
perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil
mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri,
1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif
tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus
(Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu
ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal
guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri
dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk
melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil
yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:
- Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan
diri serta menanamkan pada siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri.
Menghadirkan seseorang yang terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara,
memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil (sebagai
model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap
diri sendiri dan kepada siswa
- Menggunakan suatu patokan, standar yang
memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan (misalnya dengan mengatakan
bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).
- Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis
untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada
siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan
materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut
Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987:
175-202) merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap
mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.
Komponen kedua model pembelajaran ARIAS,
relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman
sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan
karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan
pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi
kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan
dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang
jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada
manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk mencapai
tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa
yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka juga akan
mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan
baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama
sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).
Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu
memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk
meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:
- Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai.
Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan
mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini
akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
- Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan
siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa
mendatang.
- Menggunakan bahasa yang jelas atau
contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai
yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa.
Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat
menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa,
juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak
yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik,
sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan
(Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media
pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan
menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap
kegiatan pembelajaran.
.
bagi dapusnya dongg.....
ReplyDeleteTrianto. (2011).Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivitis. Jakarta:Prestasi Pustaka.
DeleteAnitah, Sri. W dkk. (2007). Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Rinek Cipta.
Fattah, Nanang. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Cibeureum: Remaja Rosdakarya