PENGERTIAN
PUASA
Puasa secara
bahasa berarti menahan diri (al imsak) dari sesuatu. Hal ini masih
bersifat umum, baik menahan diri dari makan dan minum atau berbicara.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam,
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
“Sesungguhnya
aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS. Maryam:
26). Yang dimaksud berpuasa yang dilakukan oleh Maryam
adalah menahan diri dari berbicara sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat,
فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Maka aku
tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” (QS. Maryam:
26).
Sedangkan
secara istilah, puasa adalah:
إمساك مخصوص من شخص مخصوص في وقت مخصوص بشرائط
“Menahan hal
tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan memenuhi
syarat tertentu.” (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Dalil
Kewajiban Puasa
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.
Yang
diwajibkan secara khusus adalah puasa Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS.
Al Baqarah: 185). Al Qur’an dalam ayat ini diterangkan sebagai petunjuk bagi
manusia menuju jalan kebenaran. Al Qur’an itu sendiri adalah sebagai petunjuk.
Al Qur’an juga petunjuk yang jelas dan sebagai pembimbing untuk membedakan yang
halal dan haram. Al Qur’an pun disebut Al Furqon, yaitu pembeda
antara yang benar dan yang batil. Siapa yang menyaksikan hilal atau mendapatkan
bukti adanya hilal ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar), maka
hendaklah ia berpuasa.
Dari
hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ
الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ،
وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam
dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2)
mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji, (5) puasa Ramadhan.”
(HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).
Begitu pula
yang mendukungnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
seorang Arab Badui. Dari Tholhah bin ‘Ubaidillah bahwa orang Arab Badui pernah
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun
bertanya,
أَخْبِرْنِى بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الصِّيَامِ
قَالَ « شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا »
“Kabarkanlah
padaku mengenai puasa yang Allah wajibkan.” Rasul menjawab, “Yang wajib adalah
puasa Ramadhan. Terserah setelah itu engkau mau menambah puasa sunnah lainnya.”
(HR. Bukhari no. 1891 dan Muslim no. 11).
Bahkan ada
dukungan ijma’ (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan (Lihat At Tadzhib,
hal. 108 dan Kifayatul Akhyar, hal. 248).
A. Syarat wajib puasa:
1. Islam
Orang yang tidak Islam tidak wajib puasa. Ketika di
dunia, orang kafir tidak dituntut melakukan puasa karena puasanya tidak sah.
Namun di akhirat, ia dihukum karena kemampuan dia mengerjakan ibadah tersebut
dengan masuk Islam. (Lihat Al Iqna’, 1: 204 dan 404).
2. Baligh (cukup umur)
Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil. Sedangkan bagi
anak yang sudah tamyiz masih sah puasanya. Selain itu, di
bawah tamyiz, tidak sah puasanya. Demikian dijelaskan dalam Hasyiyah
Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 551.
Muhammad Al Khotib berkata, “Diperintahkan
puasa bagi anak usia tujuh tahun ketika sudah mampu. Ketika usia sepuluh tahun
tidak mampu puasa, maka ia dipukul.” (Al Iqna’, 1: 404).
Yang dimaksud tamyiz adalah bisa mengenal
baik dan buruk atau bisa mengenal mana yang manfaat dan mudhorot (bahaya)
setelah dikenalkan sebelumnya. Anak yang sudah tamyiz belum dikenai kewajiban
syar’i seperti shalat, puasa atau haji. Akan tetapi jika ia melakukannya,
ibadah tersebut sah. Bagi orang tua anak ini ketika usia tujuh tahun, ia
perintahkan anaknya untuk shalat dan puasa. Jika ia meninggalkan ketika usia
sepuluh tahun, maka boleh ditindak dengan dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah, 14: 32-33).
3. Berakal
Orang yang gila, pingsan dan tidak sadarkan diri karena
mabuk, maka tidak wajib puasa.
Jika seseorang hilang kesadaran ketika puasa, maka
puasanya tidak sah. Namun jika hilang kesadaran lalu sadar di siang hari dan ia
dapati waktu siang tersebut walau hanya sekejap, maka puasanya sah. Kecuali
jika ia tidak sadarkan diri pada seluruh siang (mulai dari shubuh hingga
tenggelam matahari), maka puasanya tidak sah. (Lihat Hasyiyah Syaikh
Ibrahim Al Baijuri, 1: 551-552).
Mengenai dalil syarat kedua dan ketiga
yaitu baligh dan berakal adalah hadits,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ
“Pena diangkat dari tiga orang: (1)
orang yang tidur sampai ia terbangun, (2) anak kecil sampai ia ihtilam (keluar
mani), (3) orang gila sampai ia berakal (sadar dari gilanya).” (HR. Abu
Daud no. 4403, An Nasai no. 3432, Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
4. mampu untuk berpuasa
Kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan syar’i
dan fisik. Yang tidak mampu secara fisik seperti orang yang sakit berat atau
berada dalam usia senja atau sakitnya tidak kunjung sembut, maka tidak wajib
puasa. Sedangkan yang tidak mampu secara syar’i artinya oleh Islam untuk puasa
seperti wanita haidh dan nifas. Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al
Baijuri, 1: 552, dan Al Iqna’, 1: 404.
B. Rukun Puasa
1. Niat Puasa
2. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak
subuh sampai maghrib
C. Sunnah Puasa
1. Menyegerakan berbuka puasa apabila sudah tiba waktunya
2. Berbuka puasa dengan sesuatu yang manis, seperti kurma
dan the manis
3. Mengakhirkan makan sahur
4. Memperbanyak sedekah
5. Memberikan makanan untuk berbuka puasa bagi orang yang
berpuasa
6. Membaca doa saat berbuka
D. Amalan yang dianjurkan pada bulan ramadhan
1. Tadarus al-Quran
2. Salat tarawih
3. Memperbanyak zikir dan doa
4. I’tikaf, terutama pada sepuluh hari terakhir ramadhan
5. Menyebar kebaikan kepada orang lain (dakwah)
6. Umrah
E. Hal-hal yang membatalkan puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja
2. Muntah dengan sengaja
3. Keluar darah haid dan nifas
4. Hilang akal
5. Murtad
6. Berniat membatalkan puasa
TINJAUAN
PUSTAKA
Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin
Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama,
tahun 1428 H.
At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa,
cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al
Maktabah At Tauqifiyah.
Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al
Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
Fathul Qorib (Al Qoulul Mukhtar fii Syarh Ghoyatil
Ikhtishor), Syamsuddin Muhammad bin Qosim Al Ghozzi,
terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, 1432 H.
Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri ‘ala Syarh Al ‘Allamah
Ibnul Qosim Al Ghozzi ‘ala Matan Abi Syuja’, terbitan
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
Hadi,Anis Tanwir, Memahami Fikih, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2017
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islamiyah Kuwait.