SALAM

Assalamualaikum SELAMATDATANG DI BLOG DEVI LESTARI

Wednesday, December 12, 2012

Model-model Pembelajaran


Model-model pembelajaran
1.  Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal  berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif  yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis.
2. Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan  bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir  dengan relaksasi melalui penciptaan suasana  kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.
3.Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif  bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya,  yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
4. Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.

Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative   tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti itu. Caranya antar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan).  Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
5. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
belajar bertanya,menjawab-diskusi,presentasi,menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan, mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan.  Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya
6. Konstruksivisme                                                            
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).
7. Prinsip Belajar Aktif
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan.
Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosional


Model Pembelajaran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran tersebut.
Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.
 Komponen Model Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:
- Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa
- Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).
- Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.
Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).
Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:
- Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
- Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.
- Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.
.

2 comments:

  1. Replies
    1. Trianto. (2011).Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivitis. Jakarta:Prestasi Pustaka.
      Anitah, Sri. W dkk. (2007). Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Rinek Cipta.
      Fattah, Nanang. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Cibeureum: Remaja Rosdakarya

      Delete