SALAM

Assalamualaikum SELAMATDATANG DI BLOG DEVI LESTARI

Sunday, June 9, 2013

FILSAFAT REKONSTRUKSIONISME

FILSAFAT REKONSTRUKSIONISME
A. Pengertian
Filsafat berasal dari kata philos dan shopia, ‘philos’ artinya berfikir dan ‘shopia’ artinya kebijaksanaan. Jadi filsafat ialah cinta kepada kebijaksanaan. Berfikir artinya mengolah data inderawi menjadi pengertian, atau proses mencari makna, dan kebijaksanaan artinya pengambilan keputusan yang memihak pihak yang lemah. Dengan demikian filsafat dapat diartikan berpikir mendalam tentang data inderawi dan pengambilan keputusan yang memihak kepada pihak yang lemah. Shopia bisa diartikan pengetahuan, kearifan, dan kebijaksanaan. (Darsono Prawironegoro, 2010, hlm. 15)
Rekonstruksionisme berasal dari kata ‘reconstruct’ yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. (Teguh Wangsa Gandhi HW, 2011, hlm. 189)
Dalam Kamus Oxford Advanced Leaner’s Dictionry disebutkan bahwa “ re-con-struc-tion, the process of changing or improving the condition of something or the way if works; the process of putting something back into the state it was in before the reconstruction of the educational system “. (A S Hornby, 2000, hlm. 1105)
Pendidikan, pada waktu sekarang, melihat ke masa depan bahwa perseorangan dan masyarakat harus muncul dengan sebuah kesadaran, bangunan intelektual, sebuah pandangan hidup yang baru untuk menghadapi tantangan kekuatan yang baru. (Shafique Ali Khan, 2005, hlm. 129)
Tepatlah waktunya bagi kita untuk secara tenang menguji masalah apakah filsafat dan pembahasannya dapat membantu kita di dalam tugas rekonstruksi pendidikan nasional kita atau tidak, memasukkan nilai-nilai yang positif dalam bidang lapangan sosial ekonomi kita, dan mengembalikan kesatuan, kemapanan, dan keikhlasan dalam,lingkungan nasional kita ?. (Shafique Ali Khan, 2005, hlm. 131)
1
2
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Caroline Pratt (1948), seorang rekonstruksionis sosial yang berpengaruh periode itu : “nilai terbesar suatu sekolah harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat berfikir secara effektif dan bekerja secara konstruktif,
yang saat bersamaan dapat membuat suatu dunia yang lebih baik dibandingkan dengan sekarang ini untuk hidup didalamnya”. Singkatnya, sekolah-sekolah tidak hanya harus menstransmisikan pengetahuan mengenai tatanan sosial yang ada, melainkan juga harus berusaha merekonstruksinya. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm. 166)
B. Latar Belakang
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm. 167)
Aliran Progressivisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan yang didorong oleh terutama aliran naturalisme dan experimentalisme, instrumntalisme, evironmentalisme dan pragmatisme. (M. Djumberansyah Indar, 1994, hlm. 130)
Aliran pendidikan progressivisme selalu menekankan akan tumbuh dan berkembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta didik. Progres atau kemajuan menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. (M. Djumberansyah Indar, 1994, hlm. 131)
Progresivisme yang dilandasi pemikiran Dewey, dikembangkan oleh Kilpatrick dan Jhon Child, juga mendorong pendidikan agar lebih sadar terhadap tanggung jawab sosial. Aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus mendominasi / mengarahkan perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm. 167-168)
3
Aliran ini mempunyai konsep yang mempercayai manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, mempunyai kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu untuk merubah dan menyelamatkan manusia demi untuk masa depan. Tujuan pendidikan selalu diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus dan bersifat progresif. (M. Djumberansyah Indar,1994, hlm. 131)
Plato melihat bahwa masyarakat Athena saat itu tengah sakit dan terpuruk akibat sejumlah persoalan. Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir, ia ingin membuat masyarakatnya bangkit dari keterpurukan dan berdiri tegak. Ia kemudian menyimpulkan bahwa kejatuhan Athena disebabkan oleh ketiadaan “keadilan” di dalamnya dan bahwa merekonstruksi masyarakat di atas pondasi dasar keadilan tidak akan pernah terwujud kecuali dengan merekonstruksi system pendidikan. Jadi, Plato seolah-olah menggunakan jargon, “Jika kita hendak memajukan, memperbaiki, dan merubah masyarakat maka kita juga harus memajukan, memperbaiki, dan merubah system pendidikan”. (Said Ismail Ali, 2010, hlm. 128)
C. Tokoh Filsafat Rekonstruksionisme
Aliran filsafat Rekonstruksionisme dipelopori oleh Goerge Count dan Harold Rugg pada 1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil. Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran progresif Dewey; dan ini menjelaskan mengapa aliran Rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatism. Meskipun mereka banyak terinspirasi pemikiran Theodore Brameld, khususnya dengan beberapa karya filsafat pendidikannya, mulai dari ‘Pattern of Educational Philosophy (1950), Toward recunstucted Philosophy of Education (1956), dan Education of power (1965). (Teguh Wangsa Gandhi HW, 2011, hlm. 190)
4
Dunia ini, kata Dewey, sedang dalam proses penciptaan dan secara konstan bergerak maju secara terus menerus. Dewey benar-benar menekankan evolusi, relativitas, dan proses waktu dalam pandangan dunianya. Menurut Dewey, dunia tempat kita hidup tempat kita hidup sekarang ini adalah dunia yang belum selesai (an unfinished world). Kata kunci ini dapat dimengerti dengan baik ketika dihubungkan dengan tiga aspek dari instrumentalisme : temporalisme, futurisme, dan melionisme. (Zubaedi, 2010, hlm. 139)
Temporalisme berarti bahwa ada gerak dan kemajuan riil dalam waktu. Orang tidak lagi berpegang akan pandangan realitas dari seorang penonton. Pengatahuan bukan hanya cermin atau refleksi akan dunia, tetapi ia membentuknya kembali dan melakukan perubahan padanya. Futurisme adalah melihat masa depan, dan bukan masa lalu. Masa depan yang tumbuh dari masa lalu bukanlah pengulangan, tetapi masa yang sama sekali baru. Sedangkan meliorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa dengan berbagai upaya dunia ini bisa kita buat menjadi lebih baik. (Zubaedi, 2010, hlm. 139)
Pada prinsipnya, rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme, khususnya keprihatinan mereka pada kehidupan manusia modern. Kedua aliran tersebut memandang jika kehidupan manusia modern adalah zaman ketika manusia hidup dalam kebudayaan yang terganggu, sakit, penuh kebingungan, serta kesimpangsiuran proses. Menurut pandangan rekonstruksionisme, pendidikan perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerja sama antar umat manusia.(M. Djumberansyah Indar 1994, hlm. 139)
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. (Teguh Wangsa Wardha HW, 2011, hlm. 190)
5
Pergumulan Ibnu Khaldun dengan dunia pendidikan telah menuntunnya pada satu kesimpulan bahwa pendidikan adalah urusan setiap personal. Orang yang terjun ke dunia pendidikan berupaya mencari sejumlah sifat dan keterampilan yang bisa menambah kecakapannya dalam bergumul dengan orang lain. (Said Ismail Ali, 2010, hlm. 55)
D. Prinsip-prinsip Rekonstruksionisme
Para rekonstruksionis dikenal sebagai pembela yang militant. Gagasan-gagasan mereka selalu menunjukkan kepedulian moral mereka pada situasi kehidupan yang tengah berlangsung. Ini, misalnya bisa kita temukan dengan pandangan dan keprihatinan mereka tentang bagaimana situasi hidup manusia modern yang menurut mereka menuju keruntuhan. Hidup, khususnya pendidikan, telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang salah. Oleh karenanya, makin hari hidup dan kehidupan bukannya bertambah baik, justru malah bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami suatu yang mereka sebut dalam situasi krisis sakarat. Satu-satunya solusi untuk keluar dari semua itu menurut mereka tidak lain adalah dengan mengubah praktik pendidikan yang ada ke dalam konstruksi-konstruksi baru. Pandangan rekonstruksionis memang memiliki banyak pemerian. Mulai dari persoalan kependudukan. Semakin menipisnya sumber daya alam, meningkatnya kesenjangan-kesenjangan global, baik secara teknologi ataupun kekayaan, proliferasi nuklir, rasisme, terorisme, nasionalisme sempit, serta berbagai perilaku amoral, jelas mengancam kehidupan manusia dalam pengertian apapun. Persoalan-persoalan yang mengerikan tersebut makin hari bukannya makin tersembuhkan atau makin berkurang, sebaliknya justru makin meningkat, baik dalam persentase kuantitatif maupun persentase kualitatif sehingga melahirkan sesuatu yang mereka sebut sebagai totalitarianisme modern, yaitu situasi ketika nilai-nilai kemanusiaan dalam sosial secara meluas hilang. Pendeknya, dunia berada di tengah kebangkrutan mengerikan. (Teguh Wangsa Wardha HW, 2011, hlm. 191)
6
Pada tahun 1970 Alvin Toffler dalam merespon ledakan pengetahuan serta teknologi yang begitu sangat cepat, mengemukakan dimensi teori pendidikan baru dalam karyanya : Future Shock. Alfin Toffler merupakan salah seorang futuris yang mencoba memberikan suatu penjelasan mengenai konsep manusia di masa datang.
Konsep pemikiran Alfin Toffler ini diawali dari artikelnya yang merupakan karya monumental yang dirumuskan dengan istilah “future shock (kejutan masa depan)”.
Artikel ini melukiskan tentang tekanan dan disorientasi hebat yang dialami oleh manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam waktu terlampau singkat. Jelasnya, kejutan masa depan bukan lagi merupakan bahaya potensial yang masih jauh, melainkan merupakan penyakit nyata yang diderita oleh semakin banyaknya manusia. Kondisi psikologis-biologis ini dapat digambarkan dengan terminology medis dan psikiarti. Penyakit ini ialah penyakit perubahan. Hal ini membawa kita pada sebuah kesadaran reflektif. Dalam karya tersebut, Toffler menulis, “Apa sebenarnya yang dilakukan pendidikan hari ini, tidak lain adalah anakronisme tanpa harapan”. Pendidikan berjalan hanya menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industry, sedangkan situasi sosial telah memasuki periode superindustri. Akibatnya, sekolah-sekolah kita limbung. Di satu sisi mereka terus dihadapkan pada satu kenyataan bahwa masa adalah hal yang tidak mungkin untuk ditinggalkan, sedangkan di sisi yang lain, hidup telah bergerak dengan kecepatan yang tak terbayangkan, berubah dan terus berubah. Di sini hitungan lima menit tidak lagi menjadi waktu yang pendek, sebaliknya telah menjadi waktu yang begitu panjang, ketika sebuah ingatan dan kesadaran luruh karena cepatnya gerak perubahan hidup yang ada. (Teguh Wansa Wardha HW, 2011, hlm. 192)
Goorge S. Count sebagai pelopor rekonstuksionisme dalam publikasinya “Dare the School Build a New Social Order”, mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, memahami kemelaratan, peperangan, dan kesukuan (rasialisme).
7
Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi social, daripada pendidikan hanya mempertahankan status quo. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm. 168)
Ada 5 tesis yang dikmukakan oleh Brameld (Kneller. 1971) tentang teori pendidikan rekonstruksionisme, yaitu :
1. Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata social baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan social masyarakat modern.
2. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati. Di mana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan social.
4. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis.
5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains social. Yang penting dari sains social adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai, dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm. 169-171)
Bagi sebagian intelektual muslim di berbagai Negara, khususnya di lingkungan pendidikan tinggi Islam, pada tahun 70-an, isu mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi agenda intelektual yang memberikan harapan besar pada kebangkitan Islam dan menjadi salah satu topik yang sangat kontraversial. Ia memberikan inspirasi kepada intelektual dan aktivis muslim di seluruh dunia, sekaligus mengundang reaksi keras. Pada saat umat Islam benar-benar dalam keadaan tersisihkan dari pelbagai kehidupan kolektif, isu Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer benar-benar menjadi sebuah evolusi epistemologis”. (Komaruddin Hidayat dkk, 2009, hlm. 1iii)
8
A. Malik Fajar mengatakan bahwa “ Karena itu kalau kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan peran strategis dan diperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara fundamental dan menyeluruh seperti yang berkaitan dengan : Pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah-langkah operasionalnya. Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya. Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan system pengelolaan atau manejemennya. (A. Malik Fajar, 1998, hlm. 11)
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa “ Pendidikan kita sekarang ini memang harus disempurnakan agar dapat mengantar lulusan hidup wajar pada masa depan. Mengapa pendidikan harus diproyeksikan ke masa depan ? Karena hasil suatu pendidikan tidak dapat dinikmati masa kini, malainkan pada masa depan, dekat atau jauh. Pendidikan yang berlangsung saat ini di dunia, khususnya di Indonesia; memang harus diperbarui, diberi darah baru yang segar agar ia sehat dan mampu mengantarkan lulusan menghadapi masa depannya. (Komaruddin Hidayat dkk., 2009, hlm. 30)
Dalam rangka reaktualisasi Pendidikan Islam, maka system Pendidikan Islam harus direformis, direkstrukturisasi, dan diinovasi agar dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat era pasar bebas. (Ramayulis, 2006, hlm. 342)
Menyangkut persoalan normativ-filosofis, yang sampai sekarang masih diperdebatkan para pelaku decision maker pendidikan Islam. Oleh karena itu lembaga pendidikan Islam harus melakukan reorientasi. Reorientasi dilakukan oleh pelaksana pendidikan dengan mengkaji ulang tentang masalah normative filosofis yang sering diperdebatkan. Seperti masalah tujuan pendidikan Islam. Jika rumusan tujuan pendidikan Islam kurang jelas, maka komponen-komponen lain dalam system pendidikan tidak dapat melaksanakan fungsinya secara baik. Hal ini disebabkan dalam system pendidikan, seluruh komponen-komponennya selalu berorientasi kepada pencapaian tujuan pendidikan. (Ramayulis, 2006, hlm. 345)
9
E. Manfaat Mempelajari Aliran Rekonstruksionisme
Filsafat bukan sekadar suatu penafsiran yang bersifat hipotesis atas yang tidak diketahui atau yang diketahui dengan cara yang tidak eksak, tetapi filsafat berlaku juga sebagai perisai bagian depan dalam menggenggam kebenaran, ketika filsafat menyelidiki ke dalam nilai-nilai dan berbagai kemungkinan objek-objek dan fenomena yang dicita-citakan dalam keseluruhan dalam puncak keberartiannya. (Shafique Ali Khan, 2005, hlm. 131-132)
Dalam keadaan alam ini, tugas sang filosof yang sebenarnya adalah mengubah dunia agar keadaannya lebih baik daripada sekadar merenung dan menafsirkan. Dunia adalah medan tempur, yang seseorang dapat menang hanya dengan mengembangkan sifatnya dan menyempurnakan cara dan sasarannya. Jadi, seseorang mampu membuka jalan untuk perbaikan manusia secara umum. (Shafique Ali Khan, 2005, hlm. 132)
Filsafat selalu muncul untuk penyelamatan manusia dan masyarakat, kapan pun mereka dihadapkan dengan krisis moral, sosial, atau rohaniah yang paling serius dan keadaan yang komplikasi sebagaimana yang kita hadapi akhir-akhir ini. Dalam saat-saat kritis, tidak dapat dihindarkan untuk berhenti dan berfikir, merancang cara-cara untuk memperbaiki atas dasar tindakan yang lalu, dan mencatat jalan untuk kemajuan selanjutnya. Proses berfikir membutuhkan kesadaran terhadap masa lalu dan perhatian untuk masa depan. ( Shafique Ali Khan, 2005, hlm. 133)
Muhammad Abduh, sesuai dengan prinsipnya yang menolak konflik dan penggunaan kekuatan, melihat pendidikan sebagai jalan utama untuk bangkit dari keterbelakangan yang sudah akut. Hanya saja, konsepnya tentang pendidikan dikaitkan langsung dengan keteguhannya pada semangat keagamaan Islam. Oleh karena itu, Abduh mengkritik keras konsepsi sebagian orang yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan yang tengah dibutuhkan umat Islam untuk bangkit ialah ilmu pengetahuan yang berbicara tentang dunia industry, perdagangan, dan pertanian… dan pendidikan yang berasaskan agama yang shahih. Jadi, reformasi diri dan reformasi jiwa adalah jalan lurus kita untuk menanggalkan keterbelakangan dan merealisasikan kebangkitan. (Said Ismail Ali, 2010, hlm. 194)
10
Kabangkitan (an-nahdhah), pencerahan (at-tanwir), pembaruan (at-tahdits), kemajuan (at-taqaddum), dan keberadaban (at-tamaddun) adalah frasa-frasa yang terkadang memiliki konteks lafazh berbeda. Tetapi, bagi kalangan penulis yang menggunakannya saat berbicara tentang fase permikiran Arab modern, frasa-frasa ini memiliki makna yang sama. Biasanya, mereka memulai tulisannya dengan Rifa’ah Ath-Thahthawi yang merupakan pionir pertama… Tak ada satu pun pemikiran peradaban modern yang dianjurkan oleh Ath-thahthawi itu kecuali sang pemikir berusaha mencari model serupa di dalam peradaban Arab-Islam, baik melalui teks Al-Qur’an dan hadits Nabi, perkataan ulama, maupun melalui realitas-realitas sejarah dan perkembangan peradaban Islam. (Said Ismail Ali, 2010, 277)
Dalam melakukan itu semua, Ath-Thahthawi tidak menggunakan metode yang biasa digunakan oleh banyak orang saat itu, yaitu sikap membanggakan kemuliaan masa lampau ketika berhadapan dengan kosakata-kosakata peradaban Barat. Ath-Thahthawi juga tidak berusaha menunjukkan bahwa Islam lebih dulu maju ketimbang Barat sebagaimana dilakukan oleh banyak orang saat membandingkan dua peradaban besar tersebut. Ath-Thahthawi melakukan itu semua untuk membuktikan bahwa tidak ada satu pun penghalang bagi seorang muslim untuk mengambil sebab-sebab kemajuan peradaban modern, mengingat itu semua tidak bertentangan dengan sebab-sebab kemajuan dan landasan-landasan dasar peradaban Islam. (Said Ismail Ali, 2010, hlm. 278)

No comments:

Post a Comment