FILSAFAT
REKONSTRUKSIONISME
A. Pengertian
Filsafat berasal dari kata philos dan shopia, ‘philos’ artinya berfikir dan
‘shopia’ artinya kebijaksanaan. Jadi filsafat ialah cinta kepada kebijaksanaan.
Berfikir artinya mengolah data inderawi menjadi pengertian, atau proses mencari
makna, dan kebijaksanaan artinya pengambilan keputusan yang memihak pihak yang
lemah. Dengan demikian filsafat dapat diartikan berpikir mendalam tentang data
inderawi dan pengambilan keputusan yang memihak kepada pihak yang lemah. Shopia
bisa diartikan pengetahuan, kearifan, dan kebijaksanaan. (Darsono
Prawironegoro, 2010, hlm. 15)
Rekonstruksionisme berasal dari kata ‘reconstruct’ yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. (Teguh Wangsa Gandhi HW, 2011,
hlm. 189)
Dalam Kamus Oxford Advanced Leaner’s Dictionry disebutkan bahwa “
re-con-struc-tion, the process of changing or improving the condition of
something or the way if works; the process of putting something back into the
state it was in before the reconstruction of the educational system “. (A S Hornby,
2000, hlm. 1105)
Pendidikan, pada waktu sekarang, melihat ke masa depan bahwa perseorangan dan
masyarakat harus muncul dengan sebuah kesadaran, bangunan intelektual, sebuah
pandangan hidup yang baru untuk menghadapi tantangan kekuatan yang baru.
(Shafique Ali Khan, 2005, hlm. 129)
Tepatlah waktunya bagi kita untuk secara tenang menguji masalah apakah filsafat
dan pembahasannya dapat membantu kita di dalam tugas rekonstruksi pendidikan
nasional kita atau tidak, memasukkan nilai-nilai yang positif dalam bidang
lapangan sosial ekonomi kita, dan mengembalikan kesatuan, kemapanan, dan
keikhlasan dalam,lingkungan nasional kita ?. (Shafique Ali Khan, 2005, hlm.
131)
1
2
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Caroline Pratt (1948), seorang
rekonstruksionis sosial yang berpengaruh periode itu : “nilai terbesar suatu
sekolah harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat berfikir secara effektif
dan bekerja secara konstruktif,
yang saat bersamaan dapat membuat suatu dunia yang lebih baik dibandingkan
dengan sekarang ini untuk hidup didalamnya”. Singkatnya, sekolah-sekolah tidak
hanya harus menstransmisikan pengetahuan mengenai tatanan sosial yang ada,
melainkan juga harus berusaha merekonstruksinya. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm.
166)
B. Latar Belakang
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini
lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang
ini. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm. 167)
Aliran Progressivisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang
berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat sangat berpengaruh
dalam pembaharuan pendidikan yang didorong oleh terutama aliran naturalisme dan
experimentalisme, instrumntalisme, evironmentalisme dan pragmatisme. (M.
Djumberansyah Indar, 1994, hlm. 130)
Aliran pendidikan progressivisme selalu menekankan akan tumbuh dan
berkembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun
kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta didik. Progres atau kemajuan
menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. (M. Djumberansyah
Indar, 1994, hlm. 131)
Progresivisme yang dilandasi pemikiran Dewey, dikembangkan oleh Kilpatrick dan
Jhon Child, juga mendorong pendidikan agar lebih sadar terhadap tanggung jawab
sosial. Aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus mendominasi / mengarahkan
perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini. (Uyoh Sadulloh, 2009,
hlm. 167-168)
3
Aliran ini mempunyai konsep yang mempercayai manusia sebagai subjek yang
memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, mempunyai
kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam
manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu untuk merubah dan menyelamatkan
manusia demi untuk masa depan. Tujuan pendidikan selalu diartikan sebagai
rekonstruksi pengalaman yang terus menerus dan bersifat progresif. (M.
Djumberansyah Indar,1994, hlm. 131)
Plato melihat bahwa masyarakat Athena saat itu tengah sakit dan terpuruk akibat
sejumlah persoalan. Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir, ia ingin
membuat masyarakatnya bangkit dari keterpurukan dan berdiri tegak. Ia kemudian
menyimpulkan bahwa kejatuhan Athena disebabkan oleh ketiadaan “keadilan” di
dalamnya dan bahwa merekonstruksi masyarakat di atas pondasi dasar keadilan
tidak akan pernah terwujud kecuali dengan merekonstruksi system pendidikan.
Jadi, Plato seolah-olah menggunakan jargon, “Jika kita hendak memajukan,
memperbaiki, dan merubah masyarakat maka kita juga harus memajukan,
memperbaiki, dan merubah system pendidikan”. (Said Ismail Ali, 2010, hlm. 128)
C. Tokoh Filsafat Rekonstruksionisme
Aliran filsafat Rekonstruksionisme dipelopori oleh Goerge Count dan Harold Rugg
pada 1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru, masyarakat yang
dipandang pantas dan adil. Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh
pemikiran progresif Dewey; dan ini menjelaskan mengapa aliran
Rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatism. Meskipun mereka
banyak terinspirasi pemikiran Theodore Brameld, khususnya dengan beberapa karya
filsafat pendidikannya, mulai dari ‘Pattern of Educational Philosophy (1950),
Toward recunstucted Philosophy of Education (1956), dan Education of power
(1965). (Teguh Wangsa Gandhi HW, 2011, hlm. 190)
4
Dunia ini, kata Dewey, sedang dalam proses penciptaan dan secara konstan
bergerak maju secara terus menerus. Dewey benar-benar menekankan evolusi,
relativitas, dan proses waktu dalam pandangan dunianya. Menurut Dewey, dunia
tempat kita hidup tempat kita hidup sekarang ini adalah dunia yang belum
selesai (an unfinished world). Kata kunci ini dapat dimengerti dengan baik
ketika dihubungkan dengan tiga aspek dari instrumentalisme : temporalisme,
futurisme, dan melionisme. (Zubaedi, 2010, hlm. 139)
Temporalisme berarti bahwa ada gerak dan kemajuan riil dalam waktu. Orang tidak
lagi berpegang akan pandangan realitas dari seorang penonton. Pengatahuan bukan
hanya cermin atau refleksi akan dunia, tetapi ia membentuknya kembali dan
melakukan perubahan padanya. Futurisme adalah melihat masa depan, dan bukan
masa lalu. Masa depan yang tumbuh dari masa lalu bukanlah pengulangan, tetapi
masa yang sama sekali baru. Sedangkan meliorisme adalah pandangan yang
menyatakan bahwa dengan berbagai upaya dunia ini bisa kita buat menjadi lebih
baik. (Zubaedi, 2010, hlm. 139)
Pada prinsipnya, rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme,
khususnya keprihatinan mereka pada kehidupan manusia modern. Kedua aliran
tersebut memandang jika kehidupan manusia modern adalah zaman ketika manusia
hidup dalam kebudayaan yang terganggu, sakit, penuh kebingungan, serta
kesimpangsiuran proses. Menurut pandangan rekonstruksionisme, pendidikan perlu
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru,
untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerja sama antar umat
manusia.(M. Djumberansyah Indar 1994, hlm. 139)
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan
tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh karenanya, pembinaan kembali daya
intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui
pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia. (Teguh Wangsa Wardha HW, 2011, hlm. 190)
5
Pergumulan Ibnu Khaldun dengan dunia pendidikan telah menuntunnya pada satu
kesimpulan bahwa pendidikan adalah urusan setiap personal. Orang yang terjun ke
dunia pendidikan berupaya mencari sejumlah sifat dan keterampilan yang bisa
menambah kecakapannya dalam bergumul dengan orang lain. (Said Ismail Ali, 2010,
hlm. 55)
D. Prinsip-prinsip Rekonstruksionisme
Para rekonstruksionis dikenal sebagai pembela yang militant. Gagasan-gagasan
mereka selalu menunjukkan kepedulian moral mereka pada situasi kehidupan yang
tengah berlangsung. Ini, misalnya bisa kita temukan dengan pandangan dan
keprihatinan mereka tentang bagaimana situasi hidup manusia modern yang menurut
mereka menuju keruntuhan. Hidup, khususnya pendidikan, telah diselenggarakan
dengan cara dan pemikiran yang salah. Oleh karenanya, makin hari hidup dan
kehidupan bukannya bertambah baik, justru malah bertambah buruk. Dunia bahkan
mengalami suatu yang mereka sebut dalam situasi krisis sakarat. Satu-satunya
solusi untuk keluar dari semua itu menurut mereka tidak lain adalah dengan
mengubah praktik pendidikan yang ada ke dalam konstruksi-konstruksi baru.
Pandangan rekonstruksionis memang memiliki banyak pemerian. Mulai dari
persoalan kependudukan. Semakin menipisnya sumber daya alam, meningkatnya
kesenjangan-kesenjangan global, baik secara teknologi ataupun kekayaan,
proliferasi nuklir, rasisme, terorisme, nasionalisme sempit, serta berbagai
perilaku amoral, jelas mengancam kehidupan manusia dalam pengertian apapun.
Persoalan-persoalan yang mengerikan tersebut makin hari bukannya makin
tersembuhkan atau makin berkurang, sebaliknya justru makin meningkat, baik
dalam persentase kuantitatif maupun persentase kualitatif sehingga melahirkan
sesuatu yang mereka sebut sebagai totalitarianisme modern, yaitu situasi ketika
nilai-nilai kemanusiaan dalam sosial secara meluas hilang. Pendeknya, dunia
berada di tengah kebangkrutan mengerikan. (Teguh Wangsa Wardha HW, 2011, hlm.
191)
6
Pada tahun 1970 Alvin Toffler dalam merespon ledakan pengetahuan serta
teknologi yang begitu sangat cepat, mengemukakan dimensi teori pendidikan baru
dalam karyanya : Future Shock. Alfin Toffler merupakan salah seorang futuris
yang mencoba memberikan suatu penjelasan mengenai konsep manusia di masa
datang.
Konsep pemikiran Alfin Toffler ini diawali dari artikelnya yang merupakan karya
monumental yang dirumuskan dengan istilah “future shock (kejutan masa depan)”.
Artikel ini melukiskan tentang tekanan dan disorientasi hebat yang dialami oleh
manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam waktu terlampau singkat.
Jelasnya, kejutan masa depan bukan lagi merupakan bahaya potensial yang masih
jauh, melainkan merupakan penyakit nyata yang diderita oleh semakin banyaknya
manusia. Kondisi psikologis-biologis ini dapat digambarkan dengan terminology
medis dan psikiarti. Penyakit ini ialah penyakit perubahan. Hal ini membawa
kita pada sebuah kesadaran reflektif. Dalam karya tersebut, Toffler menulis,
“Apa sebenarnya yang dilakukan pendidikan hari ini, tidak lain adalah
anakronisme tanpa harapan”. Pendidikan berjalan hanya menjadi serangkaian
praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industry, sedangkan
situasi sosial telah memasuki periode superindustri. Akibatnya, sekolah-sekolah
kita limbung. Di satu sisi mereka terus dihadapkan pada satu kenyataan bahwa
masa adalah hal yang tidak mungkin untuk ditinggalkan, sedangkan di sisi yang
lain, hidup telah bergerak dengan kecepatan yang tak terbayangkan, berubah dan
terus berubah. Di sini hitungan lima menit tidak lagi menjadi waktu yang
pendek, sebaliknya telah menjadi waktu yang begitu panjang, ketika sebuah
ingatan dan kesadaran luruh karena cepatnya gerak perubahan hidup yang ada.
(Teguh Wansa Wardha HW, 2011, hlm. 192)
Goorge S. Count sebagai pelopor rekonstuksionisme dalam publikasinya “Dare the
School Build a New Social Order”, mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul
berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara
keseluruhan, memahami kemelaratan, peperangan, dan kesukuan (rasialisme).
7
Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang
besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai
agen pembaharu dan rekonstruksi social, daripada pendidikan hanya mempertahankan
status quo. (Uyoh Sadulloh, 2009, hlm. 168)
Ada 5 tesis yang dikmukakan oleh Brameld (Kneller. 1971) tentang teori
pendidikan rekonstruksionisme, yaitu :
1. Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan
tata social baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras
dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan social masyarakat modern.
2. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati. Di mana
sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya
dan social.
4. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara
bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis.
5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan
untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa
ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains social. Yang penting dari
sains social adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai, dimana manusia
percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. (Uyoh Sadulloh,
2009, hlm. 169-171)
Bagi sebagian intelektual muslim di berbagai Negara, khususnya di lingkungan
pendidikan tinggi Islam, pada tahun 70-an, isu mengenai Islamisasi ilmu
pengetahuan telah menjadi agenda intelektual yang memberikan harapan besar pada
kebangkitan Islam dan menjadi salah satu topik yang sangat kontraversial. Ia
memberikan inspirasi kepada intelektual dan aktivis muslim di seluruh dunia,
sekaligus mengundang reaksi keras. Pada saat umat Islam benar-benar dalam
keadaan tersisihkan dari pelbagai kehidupan kolektif, isu Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer benar-benar menjadi sebuah evolusi epistemologis”.
(Komaruddin Hidayat dkk, 2009, hlm. 1iii)
8
A. Malik Fajar mengatakan bahwa “ Karena itu kalau kita ingin menatap masa
depan pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan peran strategis dan
diperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan
keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara fundamental dan
menyeluruh seperti yang berkaitan dengan : Pertama, kejelasan antara yang
dicita-citakan dengan langkah-langkah operasionalnya. Kedua, pemberdayaan
(empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya. Ketiga,
perbaikan, pembaruan dan pengembangan system pengelolaan atau manejemennya. (A.
Malik Fajar, 1998, hlm. 11)
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa “ Pendidikan kita sekarang ini memang harus
disempurnakan agar dapat mengantar lulusan hidup wajar pada masa depan. Mengapa
pendidikan harus diproyeksikan ke masa depan ? Karena hasil suatu pendidikan
tidak dapat dinikmati masa kini, malainkan pada masa depan, dekat atau jauh.
Pendidikan yang berlangsung saat ini di dunia, khususnya di Indonesia; memang
harus diperbarui, diberi darah baru yang segar agar ia sehat dan mampu
mengantarkan lulusan menghadapi masa depannya. (Komaruddin Hidayat dkk., 2009,
hlm. 30)
Dalam rangka reaktualisasi Pendidikan Islam, maka system Pendidikan Islam harus
direformis, direkstrukturisasi, dan diinovasi agar dapat menyesuaikan diri
dengan dinamika masyarakat dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat
era pasar bebas. (Ramayulis, 2006, hlm. 342)
Menyangkut persoalan normativ-filosofis, yang sampai sekarang masih
diperdebatkan para pelaku decision maker pendidikan Islam. Oleh karena itu
lembaga pendidikan Islam harus melakukan reorientasi. Reorientasi dilakukan
oleh pelaksana pendidikan dengan mengkaji ulang tentang masalah normative
filosofis yang sering diperdebatkan. Seperti masalah tujuan pendidikan Islam.
Jika rumusan tujuan pendidikan Islam kurang jelas, maka komponen-komponen lain
dalam system pendidikan tidak dapat melaksanakan fungsinya secara baik. Hal ini
disebabkan dalam system pendidikan, seluruh komponen-komponennya selalu
berorientasi kepada pencapaian tujuan pendidikan. (Ramayulis, 2006, hlm. 345)
9
E. Manfaat Mempelajari Aliran Rekonstruksionisme
Filsafat bukan sekadar suatu penafsiran yang bersifat hipotesis atas yang tidak
diketahui atau yang diketahui dengan cara yang tidak eksak, tetapi filsafat
berlaku juga sebagai perisai bagian depan dalam menggenggam kebenaran, ketika
filsafat menyelidiki ke dalam nilai-nilai dan berbagai kemungkinan objek-objek
dan fenomena yang dicita-citakan dalam keseluruhan dalam puncak keberartiannya.
(Shafique Ali Khan, 2005, hlm. 131-132)
Dalam keadaan alam ini, tugas sang filosof yang sebenarnya adalah mengubah
dunia agar keadaannya lebih baik daripada sekadar merenung dan menafsirkan.
Dunia adalah medan tempur, yang seseorang dapat menang hanya dengan
mengembangkan sifatnya dan menyempurnakan cara dan sasarannya. Jadi, seseorang
mampu membuka jalan untuk perbaikan manusia secara umum. (Shafique Ali Khan,
2005, hlm. 132)
Filsafat selalu muncul untuk penyelamatan manusia dan masyarakat, kapan pun
mereka dihadapkan dengan krisis moral, sosial, atau rohaniah yang paling serius
dan keadaan yang komplikasi sebagaimana yang kita hadapi akhir-akhir ini. Dalam
saat-saat kritis, tidak dapat dihindarkan untuk berhenti dan berfikir,
merancang cara-cara untuk memperbaiki atas dasar tindakan yang lalu, dan
mencatat jalan untuk kemajuan selanjutnya. Proses berfikir membutuhkan
kesadaran terhadap masa lalu dan perhatian untuk masa depan. ( Shafique Ali
Khan, 2005, hlm. 133)
Muhammad Abduh, sesuai dengan prinsipnya yang menolak konflik dan penggunaan
kekuatan, melihat pendidikan sebagai jalan utama untuk bangkit dari
keterbelakangan yang sudah akut. Hanya saja, konsepnya tentang pendidikan
dikaitkan langsung dengan keteguhannya pada semangat keagamaan Islam. Oleh
karena itu, Abduh mengkritik keras konsepsi sebagian orang yang menganggap
bahwa ilmu pengetahuan yang tengah dibutuhkan umat Islam untuk bangkit ialah
ilmu pengetahuan yang berbicara tentang dunia industry, perdagangan, dan
pertanian… dan pendidikan yang berasaskan agama yang shahih. Jadi, reformasi
diri dan reformasi jiwa adalah jalan lurus kita untuk menanggalkan
keterbelakangan dan merealisasikan kebangkitan. (Said Ismail Ali, 2010, hlm. 194)
10
Kabangkitan (an-nahdhah), pencerahan (at-tanwir), pembaruan (at-tahdits),
kemajuan (at-taqaddum), dan keberadaban (at-tamaddun) adalah frasa-frasa yang
terkadang memiliki konteks lafazh berbeda. Tetapi, bagi kalangan penulis yang
menggunakannya saat berbicara tentang fase permikiran Arab modern, frasa-frasa
ini memiliki makna yang sama. Biasanya, mereka memulai tulisannya dengan
Rifa’ah Ath-Thahthawi yang merupakan pionir pertama… Tak ada satu pun pemikiran
peradaban modern yang dianjurkan oleh Ath-thahthawi itu kecuali sang pemikir
berusaha mencari model serupa di dalam peradaban Arab-Islam, baik melalui teks
Al-Qur’an dan hadits Nabi, perkataan ulama, maupun melalui realitas-realitas
sejarah dan perkembangan peradaban Islam. (Said Ismail Ali, 2010, 277)
Dalam melakukan itu semua, Ath-Thahthawi tidak menggunakan metode yang biasa
digunakan oleh banyak orang saat itu, yaitu sikap membanggakan kemuliaan masa
lampau ketika berhadapan dengan kosakata-kosakata peradaban Barat.
Ath-Thahthawi juga tidak berusaha menunjukkan bahwa Islam lebih dulu maju
ketimbang Barat sebagaimana dilakukan oleh banyak orang saat membandingkan dua
peradaban besar tersebut. Ath-Thahthawi melakukan itu semua untuk membuktikan
bahwa tidak ada satu pun penghalang bagi seorang muslim untuk mengambil
sebab-sebab kemajuan peradaban modern, mengingat itu semua tidak bertentangan
dengan sebab-sebab kemajuan dan landasan-landasan dasar peradaban Islam. (Said
Ismail Ali, 2010, hlm. 278)
SALAM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment